Pemerintah Terlambat Ratifikasi Konvensi Stockholm
16-02-2009 /
KOMISI VII
Anggota Komisi VII DPR Ulha Soraya (F-KB) mengatakan, pemerintah Indonesia terlambat dalam meratifikasi konvensi Stockholm tentang bahan pencemar organik yang persisten. Hal tersebut dikatakan Ulha saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi VII dengan para pakar dari universitas negeri di Indonesia yang dipimpin Wakil Ketua KOmisi VII DRP Sonny Keraf (F-PDIP) di DPR, Senin (16/2).
“Seharusnya kita sudah meratifikasi Konvensi Stockholm dari tahun 2002 yang lalu, karena penggunaan POPs sudah memakan banyak korban,†tegas Ulha.
Sementara itu, Sonny Keraf mengatakan, untuk meratifikasi konvensi Stockholm ini, Komisi VII DPR sengaja mengundang para pakar untuk meminta masukan mengenai bahaya penggunaan bahan pencemar organik persisten.
Sonny menambahkan, selain mengundang para pakar, Komisi VII DPR juga telah mengundang lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berhubungan dengan lingkungan sebagai wakil masyarakat. “Sebelum mengambil keputusan, Komisi VII mengundang para pakar, LSM, serta instansi terkait guna meminta masukan,†ujar Sonny.
Sri Noegrohati, pakar dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dalam masukannya kepada Komisi VII DPR mengatakan, pada aspek toksikologi, penggunaan POPS dapat mengganggu system endokrim yang bersifat transgenerasional dan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Selain itu menurutnya dapat berpengaruh kepada perkembangan dan reproduksi manusia.
Karena itu menurut Noegrohati, ratifikasi konvensi Stockholm sangat diperlukan kerena merupakan instrument global yang secara legal mengikat untuk bekerjasama demi masa depan global yang bebas dari penggunaan POPS. Selain itu, ratifikasi ini memuat aksi internasional untuk meminimalkan resiko penggunaan senyawa POPS dengan tujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup melalui penggunaan senyawa alternative.
Noegrohati menambahkan, manfaat ratifikasi konvensi Stockholm dari aspek kesehatan akan meningkatkan kesehatan masyarakat dan lingkungan serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Sedangkan pakar dari Universitas Indonesia Budiawan mengatakan, kepentingan ratifikasi Konvensi Stockholm badi Indonesia adalah karena POPs sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan, adanya potensi peningkatan jumlah penggunaan bahan kimia POPs di Indonesia, sulitnya pemusnahan residu POPs secara individu atau nasional, masih terbatasnya sarana dan prasarana untuk pengelolaan atau pengawasan bahan POPs, serta belum tersedianya peraturan peraturan khusus tentang POPs.
Budiawan juga menyayangkan masih digunakannya pestisida di Indonesia. Padahal menurutnya Negara-negara lain sudah melarang penggunaan pestisida dan sudah menggantikannya dengan bahan alternatif.
Dalam RDPU tersebut, pakar yang diundang adalah, Prof. DR. Sri Noegrohati dari UGM, DR. Budiawan dari UI, Suminar Setiati Achmadi dari IPB, dan DR. Juli Soemirat, MPH, Ph.D dari ITB.(ol)